Krisis ini membawa dampak yang luar biasa pada keseluruhan sistem
perbankan di Indonesia. Namun, secara khusus, kondisi ini memengaruhi
aliran dana tunai di BCA dan bahkan sempat mengancam kelanjutannya.
Banyak nasabah menjadi panik lalu beramai-ramai menarik dana mereka.
Akibatnya, bank terpaksa meminta bantuan dari pemerintah Indonesia.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) lalu mengambil alih BCA di tahun 1998.
Berkat kebijaksanaan bisnis dan pengambilan keputusan yang arif, BCA
berhasil pulih kembali dalam tahun yang sama. Di bulan Desember 1998,
dana pihak ke tiga telah kembali ke tingkat sebelum krisis. Aset BCA
mencapai Rp 67.93 triliun, padahal di bulan Desember 1997 hanya Rp 53.36
triliun. Kepercayaan masyarakat pada BCA telah sepenuhnya pulih, dan
BCA diserahkan oleh BPPN ke Bank Indonesia di tahun 2000.
Selanjutnya, BCA mengambil langkah besar dengan menjadi perusahaan publik. penawaran saham perdana berlangsung
di tahun 2000, dengan menjual saham sebesar 22,55% yang berasal dari
divestasi BPPN. Setelah Penawaran Saham Perdana itu, BPPN masih
menguasai 70,30% dari seluruh saham BCA. Penawaran saham kedua
dilaksanakan di bulan Juni dan Juli 2001, dengan BPPN mendivestasikan
10% lagi dari saham miliknya di BCA.
Dalam tahun 2002, BPPN melepas 51% dari sahamnya di BCA melalui tender
penempatan privat yang strategis. Farindo Investment, Ltd., yang
berbasis di Mauritius, memenangkan tender tersebut. Saat ini, BCA terus memperkokoh tradisi tata kelola perusahaan baik, kepatuhan penuh pada regulasi, pengelolaan risiko secara baik dan komitmen pada nasabahnnya baik sebagai bank transaksional maupun sebagai lembaga intermediasi finansial.