Senin, 14 Oktober 2013

Mengungkap Praktik Training Berbasis Kompetensi

Penerapan program training berbasis kompetensi di perusahaan Indonesia terus bergulir. Ada yang sudah menerapkan secara penuh, ada yang baru sebagian, dan ada pula yang menuju ke sana. Bagaimana lika-likunya?
Profesionalisme Manajemen Training
COMPETENCY Based Human Resources Management (CBHRM) telah diterapkan di Bank Central Asia Tbk. (BCA) sejak beberapa tahun terakhir, meskipun belum berjalan secara penuh. Menurut Michael Adryanto, Chief Manager Training & Development Division BCA, CBHRM telah berjalan penuh pada proses rekrutmen dan training serta pengembangan. “Kalau kami ingin rekrut seorang karyawan, BCA sudah memiliki kompetensi dasar apa yang paling dicari. Kami lebih melihat faktor soft competencies daripada technical/hard competencies,” ungkapnya. Itu di bidang rekrutmen. Di bidang training?
Pemetaan kompetensi dan gap kompetensi telah disusun BCA, meskipun belum selesai seluruhnya. Setiap kompetensi yang mau dikembangkan, BCA sudah memiliki program training terkait. BCA menyebutnya Training Roadmap. Tujuan dari training tersebut setidaknya ada 2 hal.
Pertama, training ditujukan untuk meningkatkan kompetensi seseorang untuk bisa menjalankan pekerjaannya lebih baik. Dari penilaian kinerja, atasan yang bersangkutan mungkin melihat karyawan belum berprestasi optimal karena kompetensinya kurang. Atasan kemudian mengusulkan training yang sebaiknya diambil si karyawan berdasarkan peta training yang dikeluarkan divisi ini. la kemudian mendaftarkan karyawan untuk ikut training. “Training roadmap menjadi panduan bagi setiap atasan dalam mengembangkan kompetensi bawahan,” katanya.
Kedua, training bertujuan untuk mengembangkan kompetensi terkait promosi jabatan. Setiap pejabat memiliki gambaran training yang wajib diambil dan mana yang pilihan. Konsep BCA, seseorang harus dikembangkan kompetensinya terlebih dulu – hard dan soft competencies – sampai ia siap dipromosikan. Pengecualian, aku Michael, bisa saja terjadi tetapi sangat langka. Misalnya, atasan pindah kerja, sementara calon penggantinya baru saja dikembangkan, katakanlah sebulan. Orang tersebut bisa diangkat menjadi atasan sambil diberi pembekalan. Umumnya dalam keadaan normal, jika ada rencana kepindahan atasan, maka dalam setahun karyawan potensial (istilah BCA terhadap talent, red) tersebut sudah disiapkan agar siap mengambil-oper.
Program training dan pengembangan sepenuhnya dilakukan divisi ini yang sering juga disebut dengan BCA Learning Center. Materi training terdiri dari aspek hard competencies, dalam hal ini pengetahuan teknis perbankan, dan aspek soft competencies, seperti kepemimpinan, manajemen, perilaku, motivasi, dan seterusnya. Ada 3 metode yang dilakukan BCA dalam mengembangkan materi training tersebut. Pertama, materi training terkait hard competencies tentang teknis perbankan – sepenuhnya disusun dan dikembangkan sendiri. Instrukturnya berasal dari pejabat intemal BCA.
Kedua, materi training dibeli dari pihak luar dan mereka mendidik pelatih dari BCA (Train the Trainer). Pelaksanaannya sepenuhnya dilakukan Divisi Training dan Pengembangan. BCA bekerjasama dengan Daya Dimensi Indonesia (kepemimpinan dan manajemen), Dunamis (7 Habits dan Four Roles Leadership), Achieve Global (sales), dan lainnya. Ketiga, materi dibeli dari para konsultan ahli, dan training langsung dibawakan yang bersangkutan. Termasuk dalam kategori ini Gede Prama, Tungdesem Waringin, James Gwee, Andri Wongso (motivasi), pernah juga Rhenald Kasali (pemasaran), Alberto Danief (manajemen strategik), dan Ansela (akuntansi).
Dengan Gede Prama, BCA pernah mengadakan program training tidak hanya di kantor pusat, tetapi juga di kantor-kantor cabang, khususnya pada periode awal setelah krisis ekonomi. Gede sendiri mengemas program training-nya dengan nama “Life Recreation Forum”. Selepas era konsolidasi, di mana perusahaan kembali memfokuskan bisnisnya pada aspek pemasaran (bottom line), BCA menggelar training motivasi bekerjasama dengan Tungdesem Waringin, Andri Wongso, dan James Gwee. Untuk topik manajemen strategik, BCA mengajak Alberto Daniel yang mengajar pada program MM Ul.
Meski mereka pakar di bidangnya, BCA tidak memasrahkan materi training kepada mereka. Harus ada kastemisasi. Divisi Training dan Pengembangan BCA, tutur Michael, terlebih dahulu menjelaskan kebutuhan BCA, dan konsultan diminta memberikan usulan program. Usulan tersebut tidak langsung disetujui BCA hingga harus dirubah lagi. Begitulah seterusnya sampai kedua belah pihak sepakat. Proses pematangan materi ini bisa mencapai 3 bulan. Sampai Pak Alberto bilang, beliau banyak belajar dari BCA,” tukasnya.
Pejabat BCA yang menjadi instruktur harus melalui proses panjang. Ia harus ikut program pelatihan untuk pelatih, mencakup materi yang diajarkan dan cara mengajar. Selanjutnya, ia harus mengobservasi instruktur mengajar. Berikutnya, ia mengajar separuh kelas, dan separuhnya diajar instruktur. Di sini instruktur menilai calon struktur. Kalau belum lulus, diulang lagi. Setelah lulus baru sendirian mengajar. Total bisa makan waktu 6 bulan. “Prosesnya ketat karena kami membayar mereka,” tambahnya.
Selang beberapa lama menjadi instruktur, BCA mengeluarkan sertifikasi instruktur dan ini sangat menentukan besaran honor yang diterima, Instruktur terdiri dari Associate Instructor, Instructor, dan Senior Instructor. Secara teori bisa saja instruktur dengan eselon lebih tinggi dibayar lebih rendah daripada eselon lebih rendah karena sertifikatnya lebih rendah. Intinya, setiap pengajar diberi kesempatan mendapatkan bayaran yang sama – tidak tergantung eselonnya. Seorang instruktur senior, misalnya, bisa dibayar Rp 150.000/jam; mengajar sehari bisa mendapatkan Rp 1,2 juta – penghasilan yang lumayan, bisa sepertiga dari penghasilan Kepala Bagian (Eselon 6). Padahal, gajinya tetap dibayar perusahaan.
BCA ingin instruktur bekerja profesional supaya hasilnya juga profesional. Tidak ada tambahan kondite kepada instruktur, karena mengajar bagus belum tentu kinerja kerjanya bagus. Ketentuannya, satu pengajar tidak boleh mengajar lebih dari 10 jam setahun. Saat ini BCA memiliki sekitar 500 instruktur, termasuk di wilayah. Selain di pusat, BCA juga memiliki Training Center di Semarang, Bandung, Surabaya, Balikpapan, Medan, dan Palembang.
Secara keseluruhan BCA mengalokasikan dana training dan pengembangan 5% dari total biaya karyawan – sesuai aturan BI. Alumni Psikologi Unpad 83 dan Prasetya Mulya itu menolak menyebut angka persisnya. Prinsip kami, paparnya, harus efisien dan efektif sehingga dana itu tidak perlu dihabiskan. Tahun lalu, student days mencapai 80.000-an, sehingga rata-rata 1 orang karyawan di-training 4 hari per tahun. Setiap tahun dilakukan evaluasi program training, sejauh mana efektivitas program training. Evaluasi didasarkan kepada efektivitas training 4 level: reaksi, pembelajaran, perubahan perilaku, dan kinerja. Setiap program training tentu akan efektif bila semua perubahan itu berujung pada peningkatan kinerja. Evaluasi biasanya dilakukan setelah 6 bulan kembali berada di tempat kerja.
Tak hanya itu. Beberapa training berbiaya mahal dan upayanya berat, evaluasinya dilakukan hingga level 5, yaitu berapa nilai ROI (Return on Investment). Yang diukur adalah kenaikan kinerja bisnis. Bila kenaikan ROI-nya tidak signifikan atau bahkan menurun, berarti training itu tidak diperlukan. “Prinsipnya, training itu harus dipertanggungjawabkan,” tegasnya. Begitu pula di lingkungan unit kerja. Setiap peserta training harus membayar Rp 300.000/training ke Divisi Training dan Pengembangan, yang dibayar oleh bagian tempat ia bekerja. Kalaupun karyawan yang dikirim tidak masuk, Divisi ini tetap menagih biaya tersebut. Dengan mekanisme ini, para atasan tidak asal tunjuk saja karyawan untuk ikut training, Dana tersebut merupakan pemasukan bagi Divisi Training dan Pengembangan, kendati Divisi ini bukanlah profit center. BCA melayani pula training untuk pihak luar dengan nama BCA Learning Service, yang murni komersial.
Salah satu kompetensi yang sedang dikembangkan di BCA beberapa tahun terakhir adalah di bidang kredit. Ini sesuai dengan strategi bisnis BCA. Saat dimiliki Salim Group, BCA tidak banyak memberikan kredit. Jumlah kredit BCA 1999, contohnya, hanya Rp 3 triliun, sedangkan total dana pihak ketiga Rp 40-an triliun. “BCA tidak lagi bisa hidup dari fee based income dan bunga obligasi rekap,” ujamya. Dalam 3 tahun terakhir, kredit BCA terus digenjot Per Desember 2004, total kredit BCA mencapai Rp 40,6 triliun dengan dana masyarakat Rp 130 triliun lebih. Perkembangan kredit itu dilakukan sejalan dengan pengembangan kompetensi perkreditan, tanpa penambahan orang. Caranya, beberapa orang dipindah ke bagian kredit. Total organisasi kredit saat ini sekitar 2.000-an orang. “Penambahan karyawan tidak bisa dilakukan, karena karyawan BCA sudah kebanyakan,” ungkapnya. Saat ini jumlah karyawan BCA mencapai 20.500 orang.
Tahun 2005 ini, BCA menjalankan beberapa program training yang terdiri dari: Program Reguler dan Program Divisi (Kredit dan Marketing, Operasional, dan Manajemen & Pengembangan Diri Program Khusus (untuk PSC dan magang), dan Program Pengembangan Karir (karyawan dan Management Development Program). Program training tersebut harus disesuaikan dengan strategi perusahaan pada tahun tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar